Friday, July 16, 2010

MOTHERHOOD PADA REMAJA YANG HAMIL DI LUAR NIKAH



MOTHERHOOD PADA REMAJA YANG HAMIL
DI LUAR NIKAH



UNIVERSITAS MEDAN AREA
FAKULTAS PSIKOLOGI
2010




KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rakhmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan proposal penelitian kualitatif yang berjudul “Motherhood Pada Remaja yang Hamil di Luar Nikah”.
Penulis menyadari bahwa keberhasilan penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak baik langsung maupun tidak langsung. Dalam kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Ibu Sri Mulyani, Nasution, M.Psi selaku dosen pembimbing dan atas bimbingan, pengarahan, saran serta dukungan yang berarti kepada penulis selama penyusunan proposal penelitian kualitatif.
2. Orang tua yang tercinta atas semua kasih sayang, dukungan moril maupun materil serta doa yang selalu menyertai penulis.
3. Teman-teman yang tidak dapat disebutkan satu persatu yag telah memberikan doa, dukungan dan masukkan yang yag berguna untuk proposal penelitian kualitatif ini.
Semoga segala kebaikan dan pertolongan semuanya mendapatkan berkah dari Allah SWT. Akhir kata penulis mohon maaf apabila masih banyak kekurangan dalam penyusunan proposal penelitian kualitatif ini. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak yang memerlukan,. AMIN.

Medan, 20 April 2010

Penulis





DAFTAR ISI


KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang Masalah 1
B. Rumusan Masalah 7
C. Tujuan Penelitian 7
D. Manfaat 8
E. Paradigma 9
BAB II PEMBAHASAN 10
A. Motherhood 10
1. Pengertian Motherhood 10
2. Ciri Motherhood 11
B. Remaja 12
1. Pengertian Remaja 12
2. Ciri-ciri Remaja 13
3. Tugas Perkembangan Remaja 14
4. Perkembangan Prilaku Seksual Remaja 15
C. Kaitan Motherhood Terhadap Remaja 15

BAB III METODE PENELITIAN 25
A. Metode Penelitian Kualitatif 17
B. Teknik Pengumpulan Data 19
1. Wawancara 19
a. Pedoman Wawancara 20
b. Prosedur Wawancara 20
c. Informan Penelitian 22
2. Observasi 22
a. Lembar Catatan Observasi 23
C. Responden Penelitian 24
1. Karakteristik Responden 24
2. Jumlah Responden 25
D. Alat Bantu Pengumpulan Data 25
E. Keabsahan 25
F. Prosedur Penelitian 28
1. Persiapan Penelitian 28
2. Pelaksanaan Penelitian 29
G. Metode Analisis Data 31
DAFTAR PUSTAKA





BAB I
PENDAHULUAN


A. Latar Belakang Masalah
Masalah remaja bukan hanya berasal dari pembawaan remaja itu sendiri, sebagian besar dipengaruhi oleh lingkungan. Secara umum sebab-sebab masalah remaja dipengaruhi faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah faktor yang berasal dari dalam diri remaja yang dipengaruhi oleh perkembangan seksualitas, emosi, kemauan dan pikiran. Sedangkan faktor eksternal adalah faktor yang berasal dari luar diri remaja, seperti: lingkungan keluarga, sekolah dan lingkungan pergaulan.
Perkembangan seksualitas pada usia remaja memang seringkali menimbulkan banyak problematika moral dan sosial. Namun disisi lain gejolak pubertas yang bermuara pada titik seksualitas tidak dapat dicegah karena pada kurun usia seseorang 12-21 tahun adalah memasuki fase pubertas yang dalam kamus kesehatan berarti proses perubahan fisik (biologis atau seksual) dan psikis pada diri manusia dari fase anak-anak menjadi dewasa yang berlansung kurang lebih tiga sampai lima tahun. Nama lain pubertas disebut dengan transisi karena proses pendewasaan yang singkat namun meninggalkan kesan mendalam. Salah satu tahap yang akan dilalui seorang remaja pada masa pubertas adalah perkembangan seksualitas yang seringkali tak terkendali.
Sampai saat ini masalah seksualitas selalu menjadi topik yang menarik untuk dibicarakan. Hal ini dimungkinkan karena permasalahan seksual telah menjadi suatu hal yang sangat melekat pada diri manusia. Seksualitas tidak bisa dihindari oleh makhluk hidup, karena dengan seks mahluk hidup dapat terus bertahan hidup menjaga kelestarian keturunanya.
“Pertama kali pacarku ngajak berhubungan seks itu saat kami berada dalam mobilnya. Aku tahu ini kedengarannya gila, tapi aku pikir ini romantis sekali. Dia terus-menerus bilang aku cantik dan luar biasa, bahwa dia akan menikahiku setelah aku lulus sekolah. Dia benar-benar meyakinkan. Tentu saja aku ingin berhubungan seks sama dia. Tak satupun dari kami memakai kontrasepsi.”


Kelompok usia remaja merupakan kelompok yang hampir separuh dari penduduk Indonesia, merupakan kelompok yang secara potensial berperan dalam meningkatkan produktivitas nasional dan dalam penguasaan iptek dimasa depan, tetapi juga potensial untuk menggagalkan keberhasilan program KB yang sudah tercapai dengan relatif baik. Perubahan-perubahan mendasar dalam sikap dan perilaku seksual dan reproduksi di kalangan remaja telah menjadi salah satu masalah sosial yang banyak mendapat keprihatinan masyarakat Indonesia , terutama dalam satu dekade terakhir ini.
“Kami melakukan hal ini di kamarnya ketika orang tuanya sedang tidak berada di rumah. Aku menyukainya, bahkan harus aku akui waktu dia menyentuh tubuhku. Tapi saat kami berhubungan seks aku benar-benar tidak siap secara emosional. Kubilang sama dia kalau aku belum mau, tapi ia mengeluarkan kata-kata konyol kalau aku benar-benar mencintainya aku akan siap. Aku pernah mendengar kata-kata tipuan itu jutaan kali sebelumnya, tapi ketika ia mengatakannya aku percaya.
Dia mengambil kondom dari laci lemari bajunya dan membukanya. Aku tidak pernah melihatnya melakukan itu sebelumnya. Aku merasa jijik. Aku tidak percaya ia melakukannya kepadaku selagi orang tuanya tidak di rumah. Aku terus mengatakan jangan, tapi ia terus menciumiku dan menenggelamkan kata-kataku.”
Pada awal masa remaja, tercakup kesadaran seksual pada remaja seperti tuntutan sosial dan pendidikan. Begitu meninggalkan masa kan ak-kanak, remaja mengalami kebebasan, outonomi dan pilihan dibandingkan saat mereka masih menbutuhkan pemeliharaan khusus, perlindungan dan bimbingan. Tanpa keikutsertaan oran g tua dan oran g dewasa lainnya secara terus menerus dalam memberikan petunjuk bagi keselamatan mereka remaja dapat terlibat pada resiko terperangkap dalam tindakan kejahatan oleh mereka sendiri atau oran g lain.
Masalah seksualitas di kalangan remaja adalah masalah yang cukup pelik untuk diatasi. Di satu sisi, perkembangan seksual itu muncul sebagai bagian dari perkembangan yang harus dijalani, namun, di sisi lain, penyaluran hasrat seksual yang belum semestinya dilakukan dapat menimbulkan dan berakibat yang serius, seperti kehamilan atau tertular penyakit kelamin.
“Kami terus saling bertemu selama sekitar 3 bulan, dan kami berhubungan seks untuk beberapa kali. Sebelumnya, biasanya kami pergi ke bioskop dan jalan-jalan tapi dia enggak mau melakukan itu lagi. Dia bertemu perempuan lain dan kemudian putus denganku. Pada saat itu aku tidak hanya hancur tapi ia juga meninggalkan sesuatu padaku yaitu penyakit kelamin.”
Di Indonesia sendiri angka kehamilan remaja yang belum menikah sulit untuk diketahui dengan pasti. Namun berita-berita di media massa tentang hasil-hasil penelitian hamil sebelum menikah, lepas dari masalah keabsahan penelitian- penelitian tersebut, menunjukan kecenderungan bahwa kehamilan sebelum menikah tersebut sudah mulai menggejala. Kalau sinyalemen ini benar, maka sudah sewajarnyalah keprihatinan dan penanganan masalah tersebut harus lebih ditingkatkan mengingat kehamilan remaja sebelum menikah ini memiliki aspek negatif baik pada si ibu, maupun pada si anak yang lahir. Ada beberapa faktor penyebab yang saling terkait satu sama lain dari timbulnya perubahan-perubahan tersebut, antara lain yaitu: usia pubertas rata-rata remaja yang lebih dini, kecenderungan penundaan usia nikah, peningkatan dorongan seks pada usia remaja, kurang memadainya pengetahuan remaja tentang proses kesehatan reproduksi, menajamnya penambahan jumlah remaja yang sexually active, miskinnya pelayanan dan bimbingan tentang kesehatan reproduksi untuk remaja, dan pengaruh negatif budaya pop serta industri turisme yang menyebarkan nilai casual sex atau easy sex melalui berbagai media massa. Perubahan-perubahan sikap dan perilaku seksual remaja ini pada gilirannya mengakibatkan peningkatan masalah-masalah seksual seperti meningkatnya perilaku seks sebelum menikah, unprotected sexuality, penyakit kelamin, tingkat mortalitas ibu dan bayinya, aborsi, penikahan usia muda, dan masalah kehamilan tak dikehendaki (unwanted atau un-intended pregnancy).
Masalah-masalah ini disebut oleh WHO (1989) sebagai masalah kesehatan reproduksi remaja, yang telah mendapat perhatian khusus dari berbagai organisasi internasional. Munculnya keprihatinan internasional terhadap masalah-masalah sosial-budaya yang berhulu pada masalah seksualitas remaja menunjukkan bahwa masalah ini bersifat lintas-budaya. Penelitian-penelitian cross-cultural mengenai masalah-masalah kesehatan reproduksi dikalangan remaja, seperti aborsi, unprotected sexuality, sexually trasmitted disease dan, adolescent pregnancy dikalangan remaja, memberitahukan kita bahwa hampir seluruh negara, baik negara-negara maju di Amerika Utara dan Eropa maupun negara berkembang di Afrika, Amerika Latín dan Asia, menghadapi masalah serupa (Kulin, 1988). Ini memastikan bahwa masalah-masalah kesehatan reproduksi remaja adalah sindrom global-mondial yang sedang dan akan terus mengimbas secara pasti dan signifikan ke nasional bila tidak diatasi secara tepat.
Sejak tahun 1960-an, ketika mulai muncul revolusi seks di daratan Eropa dan Amerika, penelitian mengenai keserbabolehan dalam perilaku seksual pada remaja mulai dilakukan. Ada indikasi yang menunjukan adanya peningkatan persentase remaja yang memiliki tingkat keserbabolehan yang tinggi atau yang melakukan hubungan seksual pranikah (Sarwono, 1989).
Pada perkembangan ditahap remaja akhir, individu biasanya mencari teman untuk pasangan hidup dilakukan secara lebih serius dan berkomitmen. Namun tidak jarang, pergaulan yang dilakukan melampaui batas-batas karena mereka merasa saling mencintai dan saling memiliki satu sama lain, sehingga menimbulkan kehamilan.
Kehamilan merupakan suatu anugerah bagi kebanyakan pasangan suami isteri karena adanya anak membuat hidup berkeluarga terasa lebih lengkap dan lebih mempunyai arti. Namun akan berbeda halnya untuk kehamilan yang terjadi sebelum adanya suatu ikatan pernikahan. Kehamilan seperti ini sangat tidak diharapkan oleh kebanyakan orang karena dianggap sebagai aib.
“Aku kaget, hampir tidak percaya. Padahal aku cuma satu kali melakukannya, itupun karena pacarku yang ‘minta’. Tidak pernah terbayang sebelumnya akan seperti ini akhirnya. Rasanya dunia ini runtuh seketika.”
Wanita yang mengalami kehamilan sebelum menikah biasanya dihadapkan pada pilihan yang sulit, yaitu meneruskan atau menghentikan kehamilannya (aborsi). Dari sekian banyak kasus kehamilan di luar nikah, tidak semuanya berakhir dengan aborsi. Sebagian wanita dalam situasi serupa memilih untuk meneruskan kehamilan tanpa menikah. Walaupun demikian, pilihan ini juga membawa konsekuensi tersendiri, misalkan adanya sanksi sosial bagi anak yang dilahirkan karena anak yang dilahirkan tanpa ayah sering kali dianggap sebagai “ anak haram”, dan terutama bagi wanita sebagai ibu, tanpa ada pasangan atau ikatan pernikahan yang sah.
“Aku hamil setelah kami melakukannya hubungan seks beberapa kali. Pada saat aku memeberitahukan hal itu pada oran g tuaku, mereka menyuruhku untuk menggugurkan kan dunganku karena aku masih SMA. Mereka juga menyarankanku untuk memberikan bayiku pada oran g lain setelah aku melahirkan. Tapi aku tidak ingin melakukan hal itu, dan lebih memilih mempertahankan dan merawat kan dunganku.”
Perasaan malu menganggap dirinya tak berarti dan merasa dikucilkan oleh keluarga dan lingkungan sekitar akan sangat dirasakan oleh ibu dan anaknya yang dilahirkan tanpa ikatan perkawinan. Selain itu, karena tidak adanya status yang jelas, mereka sangat mungkin tersisihkan dalam lingkungan, dan muncullah perasaan hidup itu terasa hampa, frustasi dan tidak berarti. Kondisi ini sangat mungkin mengakibatkan kehidupan wanita tersebut menjadi tidak bermakna.
Bastaman (1996), mendefinisikan bahwa makna hidup adalah sesuatu yang dianggap penting dan berharga, serta memberikan nilai khusus bagi seseorang. Makna hidup bila berhasil ditemukan dan terpenuhi akan menyebabkan kehidupan ini dirasakan demikian berarti dan berharga.
Setiap individu senantiasa menginginkan dirinya menjadi orang yang berguna dan berharga bagi keluarganya, lingkungan dan masyarakatnya, serta bagi dirinya sendiri. Setiap orang menginginkan bagi dirinya suatu cita-cita dan tujuan hidup yang akan diperjuangkannya dengan penuh semangat, sebuah tujuan hidup yang menjadi arahan segala kegiatannya. Ia mendambakan dirinya sebagai orang yang bertanggung jawab, sekurang-kurangnya bagi dirinya sendiri, serta menjadi orang yang mampu menentukan sendiri apa yang akan dilakukanya dan apa yang paling baik bagi dirinya sendiri dan lingkungannya.
Begitu pula dengan remaja yang hamil di luar nikah. Dimana mereka juga harus beradaptasi kembali dengan keadaan mereka yang sudah jauh berbeda dari tugas-tugas remaja pada umumnya. Selain itu, kondisi lingkungan yang memiliki pandangan berbeda-beda terhadap kasus kehamilan di luar nikah juga berpengaruh besar dalam kondisi psikologis remaja. Lingkungan yang menolak serta memberikan pandangan sinis dapat menimbulkan dampak yang negatif bagi psikologis remaja itu sendiri. Salah satu bentuk dampak negatifnya yang paling umum yaitu stres. Stres merupakan bagian yang tak terhindarkan dalam kehidupan. Stres mempengaruhi setiap oran g, terutama pada remaja yang hamil di luar nikah dimana mendapat penolakan dari lingkungan sekitar.
Situasi ini menjadi sangat menyedihkan bagi sang ibu dan janin yang dikandungnya. Oleh sebab itu, jika ada anggota keluarga yang hamil di luar nikah, sebaiknya semua oran g yang dekat dengannya bisa berpikiran jernih dan tidak mengedepankan emosi. Dengan demikian, apapun keputusan yang diambil merupakan hal terbaik yang dapat dilakukan. Hal ini perlu, agar oran g tua maupun yang bersangkutan tidak menyesal dikemudian hari.
Fakta menunjukkan kehamilan di luar nikah biasanya baru menjadi masalah keluarga setelah yang bersangkutan terlambat menstruasi lebih dari dua bulan. Selain harus mempersiapkan ia menjadi ibu, sekaligus bisa tetap bisa sekolah, juga harus berhadapan dengan kemungkinan si bayi terlahir cacat. Selain itu, sebagian masyarakat menganggap hamil di luar nikah sebagai aib keluarga yang sebisa mungkin harus disembunyikan serapat-rapatnya.
Tahap menerima kenya taan bahawa salah satu anggota keluarga mereka hamil di luar nikah, merupakan hal yang paling sulit. Untuk mengatasi hal itu tidak ada rumusan baku karena kondisi keluarga maupun remaja yang hamil di luar nikah amat berbeda-beda. Sebagian besar mereka yang hamil di luar nikah paham bahwa hal itu melanggar norma, mencoreng nama baik keluarga, sampai mempermalukan diri sendiri. Namun di sisi lain, mereka juga tidak mempunyai bekal cukup tentang pengetahuan fisik dan kejiwaan yang mereka alami. Dalam hal ini, oran g tua seringkali akan mengambil alih tanggung jawab memelihara bayi setelah mereka mampu menerima kenya taan bahwa anak mereka hamil di luar nikah, karena mereka ingin anaknya bisa terus bersekolah dan meneruskan aktivitas lain sesuai usianya. Tindakan seperti ini, buat anak yang sudah dewasa mungkin dapat diambil hikmahnya. Tetapi buat anak yang masih berpikiran remaja, akan membuatnya tidak pernah belajar menjadi dewasa, menjadi oran g yang betanggung jawab pada perbuatannya. Dengan membiarkan si anak sendiri yang mengurus bayinya akan membuat si anak belajar bertanggung jawab atas perbuatan yang dilakukannya. Oleh sebab itu, tanggung jawab harus diajarkan sejak dia masih hamil. Karena dapat dikatakan bahwa setiap perempuan itu mempunyai naluri sebagai ibu. Jika oran g tua tidak mendorong si anak menumbuhkan nalurinya sebagai ibu maka anak itu tidak akan bisa menjadi ibu yang baik bagi bayinya.
Dalam hal ini, tanggung jawab sebagai ibu dapat dilihat dari bagaimana perilakunya yang rajin memeriksakan kan dungannya ke dokter, mengkonsumsi makanan bergizi, dan membesarkan bayinya serta memikirkan soal pakaian, makanan, sampai pendidikan si anak nantinya.

B. Rumusan Masalah
Perumusan masalah merupakan salah satu tahap di antara sejumlah tahap penelitian yang memiliki kedudukan yang sangat penting dalam kegiatan penelitian. Tanpa perumusan masalah, suatu kegiatan penelitian akan menjadi sia-sia dan bahkan tidak akan membuahkan hasil apa-apa.
Perumusan masalah atau research questions atau disebut juga sebagai research problem, diartikan sebagai suatu rumusan yang mempertanyakan suatu fenomena, baik dalam kedudukannya sebagai fenomena mandiri, maupun dalam kedudukannya sebagai fenomena yang saling terkait di antara fenomena yang satu dengan yang lainnya, baik sebagai penyebab maupun sebagai akibat.

Masalah motherhood remaja yang hamil di luar nikah dijadikan objek penelitian dengan alasan sebagai berikut :

1. Bagaimana proses pembentukkan karakter motrherhood pada remaja yang hamil di luar nikah?
2. Seberapa besar peran motherhood pada remaja yang hamil di luar nikah?
3. Bagaimana cara remaja yang hamil di luar nikah memunculkan sisi motherhoodnya?
4. Faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi makna hidup pada remaja yang hamil di luar nikah?
5. Seberapa besar peran lingkungan mempengaruhi sisi motherhood pada remaja yang hamil di luar nikah?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian merupakan sasaran hasil yang ingin dicapai dalam penelitian ini, sesuai dengan fokus yang telah dirumuskan.
Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah untuk mengetahui:
1. Menemukan pemecahan yang diperlukan yang berkaitan dengan masalah remaja yang hamil di luar nikah.
2. Mengetahui faktor-faktor yang mempengaruhi fungsi pekerjaan sosial dari remaja yang hamil di luar nikah.
3. Mengetahui kebermaknaan hidup pada remaja yang hamil di luar nikah.
4. Faktor-faktor yang mempengaruhi makna hidup pada remaja yang hamil di luar nikah.
5. Proses pembentukan karakter motherhood pada remaja yang hamil di luar nikah.


D. Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan memiliki dua manfaat, yaitu:
1. Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memperkaya khasanah ilmu pengetahuan khususnya bidang psikologi klinis yang berkaitan dengan peran keibuan atau motherhood pada remaja yang hamil di luar nikah
2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan memberikan masukan dan dorongan untuk remaja yang hamil di luar nikah.


PARADIGMA

Dalam rangka melakukan pengumpulan fakta-fakta para ilmuwan atau peneliti terlebih dahulu akan menentukan landasan atau fondasi bagi langkah-langkah penelitiannya. Landasan atau fondasi tersebut akan dijadikan sebagai prinsip-prinsip atau asumsi-asumsi dasar maupun aksioma, yang dalam bahasanya Moleong disebut sebagai paradigma.
Menurut Bogdan dan Biklen paradigma dinyatakan sebagai kumpulan longgar dari sejumlah asumsi yang dipegang bersama, konsep atau proposisi yang mengarahkan cara berpikir dan penelitian.
Paradigma didalam ilmu pengetahuan sosial memiliki ragam yang demikian banyak, baik yang berlandaskan pada aliran pemikiran Logico Empiricism maupun Hermeneutic. Masing-masing paradigma tersebut memiliki keunggulan dan kelemahan masing-masing. Oleh karena itu para peneliti harus mempunyai pemahaman yang cukup terhadap dasar pemikiran paradigma-paradigma yang ada sehingga sebelum melakukan kegiatan penelitiannya, para peneliti dapat memilih paradigma sebagai landasan penelitiannya secara tepat.







BAB II
LANDASAN TEORI


A. Motherhood
1. Pengertian Motherhood
Konsep motherhood adalah salah satu yang termasuk dalam aliran pemikiran gender yang bersifat konservatif. Menurut Mohatta (2007) motherhood adalah pengorbanan yang diberikan seorang ibu kepada orang lain, yang secara khusus ditujukan kepada anak yang dikandungnya selama 9 bulan dan kemudian ia besarkan dengan penuh kasih sayang.
Sementara Binks (2005) menguraikan bahwa motherhood tidak hanya menyangkut hubungan ibu dengan anak, tetapi juga terkait dengan penilaian seorang ibu terhadap dirinya sendiri dan juga terhadap masyarakat. Artinya, konsep motherhood tidak hanya mencakup ranah domestik bagi perempuan, tetapi juga mencakup ranah publik.
Definisi motherhood menurut Mohatta merupakan definisi motherhood dalam lingkup yang terkecil dan tersempit dan berperspektif mikro, karena hanya berkisar pada kedermawanan seorang ibu pada—secara khusus—anaknya. Dalam bahasa common sense, adalah hal yang alamiah apabila seorang perempuan memiliki perhatian yang lebih (yang di dalamnya terkandung segala macam jenis pengorbanan dan kedermawanan) terhadap janin dirahimnya yang kemudian tumbuh besar menjadi harapan buah hatinya. Hal ini hendak menegaskan bahwa sejatinya naluri keibuan—jika motherhood bisa dibilang seperti itu—merupakan paket yang diterima seorang perempuan bersama dengan kehadiran seorang anak.
Sara Ruddick (1995) juga mengatakan hal yang senada, bahwa naluri keibuan yang terintegrasi pada setiap perempuan tidak lain dan tidak bukan dicurahkan kepada anaknya walau apapun yang terjadi. Ia menggambarkan gairah ibu, kebijaksanaannya, dan cintanya terus mengalir bagaimanapun dan apapun yang terjadi pada anaknya, termasuk saat kepala anaknya telah tercerabut dari payudaranya ketika lepas masa menyusui. Artinya motherhood seorang perempuan mulai direntas ketika dia mulai mengandung anaknya, kemudian terus melahirkannya, dan merawatnya hingga anak-anak tersebut tumbuh besar dan siap menghadapi dunia. Sikap keibuan merupakan sikap dan aktifitas yang melekat pada diri perempuan dan melalui sikap tersebut maka dapat ditarik sebuah perspektif moral. Tetapi yang harus diingat adalah, meski Mohatta dan Ruddick secara spesifik hanya menyebut anak, motherhood level mikro ini tidak eksklusif untuk anak seorang, melainkan juga kepada keluarganya.

2. Ciri-ciri Motherhood
Wilson (1975) mengemukakan beberapa karakteristik dari motherhood yang dimiliki oleh seorang wanita, yaitu:

1. Perilaku adaptif.
Menurut Kelly (1978), perilaku adaptif merupakan kematangan diri dan sosial seseorang dalam melakukan kegiatan umum sehari-sehari sesuai dengan keadaan umur dan berkaitan dengan budaya kelompok.
Dalam hal ini, perilaku adaptif bagi motherhood yaitu sejauh mana seorang ibu mempertahankan dan memelihara kan dungannya dan bagaimana dirinya mampu beradaptasi dengan kondisinya yang secara fisik dan psikologis berubah.

2. Feminitas
Karakteristik motherhood tidak pernah lepas dari peran gender. Dalam hal ini tentu saja berkaitan erat dengan peran gender feminin. Menurut Pendhazur dan Tetenbaum (1979) dan Bern ard (dalam Kuwanto, 1992) karakteristik peran gender feminin lebih memperlihatkan sifat-sifat yang hangat dalam hubungan personal, lebih suka berafiliasi dengan oran g lain daripada mendominasi. Karakteristik peran gender feminin lebih sensitif dan tanggap terhadap keadaan yang lain, sikap hati-hati agar tidak menyinggung perasaan oran g lain, cenderung suka menyenangkan oran g lain. Selain itu selalu ingin tampa k rapi, lebih bersifat loyal dan pemalu. Karakteristik tersebut kemungkinan terbentuk dari kebiasaan dan tugasnya yang bersifat domistik.

Sahran mengungkapkan karakteristik peran gender feminin yaitu sebagai berikut:
a) Kasih sayang, meliputi: memperhatikan keserasian, penyayang, suka merasa kasihan, tabah dan tulus hati.
b) Kelembutan perilaku meliputi: berbudi halus, hangat, hemat serta suka hati-hati.
c) Sifat feminin meliputi: sifat peramah, membutuhkan rasa aman, memperhatikan etika dan rapi.

Menurut Bakan peran gender feminin berkaitan erat dengan kelompok dan penekanannya terdapat pada prinsip communion, kompromitas, suka membantu, berperasaan halus, tergantung dan senang pada kehidupan kelompok (Sahran, 1996).

3. Kepribadian berorientasi komunal
Menurut Carl Jung karakteristik motherhood dalam kepribadian berorientasi komunal yaitu memelihara hubungan interpersonal dengan ciri mengasuh, memberi cinta kasih, afeksi, kepekaan, emosi sosiabilitas.

4. Parental investment
Parental investment merupakan perilaku atau investasi lain yang dilakukan oran g tua berkenaan dengan pemeliharaan keturunannya, selain meningkatkan kesempatan pada keturunan untuk survive, juga memberi orang tua suatu bayaran/harga (cost).

B. Remaja
1. Pengertian Remaja
Remaja dalam ilmu psikologis juga diperkenalkan dengan istilah lain, seperti puberteit, adolescence, dan youth. Dalam bahasa Indonesia sering pula dikaitkan pubertas atau remaja. Remaja merupakan suatu fase perkembangan antara masa kanak-kanak dan masa dewasa, berlangsung antara usia 12 sampai 21 tahun. Masa remaja terdiri dari masa remaja awal usia 12-15 tahun, masa remaja pertengahan usia 15-18 tahun, dan masa remaja akhir usia 18-21 tahun (Monks, et al. 2002). Masa remaja disebut juga sebagai periode perubahan, tingkat perubahan dalam sikap, dan perilaku selama masa remaja sejajar dengan perubahan fisik (Hurlock, 2004).
Menurut Papalia dan Olds (2001), masa remaja adalah masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan masa dewasa yang pada umumnya dimulai pada usia 12 atau 13 tahun dan berakhir pada usia akhir belasan tahun atau awal dua puluhan tahun.
Menurut Adams dan Gullota (dalam Aaro, 1997), masa remaja meliputi usia antara 11 hingga 20 tahun. Sedangkan Hurlock (1990) membagi masa remaja menjadi masa remaja awal (13 hingga 16 atau 17 tahun) dan masa remaja akhir (16 atau 17 tahun hingga 18 tahun). Masa remaja awal dan akhir dibedakan oleh Hurlock karena pada masa remaja akhir individu telah mencapai transisi perkembangan yang lebih mendekati masa dewasa.
Papalia & Olds (2001) berpendapat bahwa masa remaja merupakan masa antara kanak-kanak dan dewasa. Sedangkan Anna Freud (dalam Hurlock, 1990) berpendapat bahwa pada masa remaja terjadi proses perkembangan meliputi perubahan-perubahan yang berhubungan dengan perkembangan psikoseksual, dan juga terjadi perubahan dalam hubungan dengan orangtua dan cita-cita mereka, dimana pembentukan cita-cita merupakan proses pembentukan orientasi masa depan.

2. Ciri-ciri Remaja
Masa remaja mempunyai ciri-ciri tertentu yang membedakan dengan periode sebelum dan sesudahnya. Gunarsa (2001) menyatakan ciri-ciri tertentu yaitu:
a. Masa remaja sebagai periode yang penting.
b. Masa remaja sebagai periode peralihan.
c. Masa remaja sebagai periode perubahan.
d. Masa remaja sebagai periode bermasalah.
e. Masa remaja sebagai masa mencari identitas.
f. Masa remaja sebagai usia yang menimbulkan ketakutan.
g. Masa remaja sebagai ambang masa dewasa.
Gunarsa (2001) menyebutkan bahwa masa remaja sebagai masa peralihan dari masa anak ke masa dewasa, meliputi semua perkembangan yang dialami sebagai persiapan memasuki masa dewasa. Semua aspek perkembangan dalam masa remaja secara global berlangsung antara umur 12–21 tahun, dengan pembagian usia 12-15 tahun adalah masa remaja awal, 15-18 tahun adalah masa remaja pertengahan, 18- 21 tahun adalah masa remaja akhir (Monks, et al. 2002).

3. Tugas Perkembangan Remaja
Tugas perkembangan remaja menurut Havighurst dalam Gunarsa (1991) antara lain :
1) Memperluas hubungan antara pribadi dan berkomunikasi secara lebih dewasa dengan kawan sebaya, baik laki-laki maupun perempuan
2) Memperoleh peranan sosial
3) Menerima kebutuhannya dan menggunakannya dengan efektif
4) Memperoleh kebebasan emosional dari orangtua dan orang dewasa lainnya
5) Mencapai kepastian akan kebebasan dan kemampuan berdiri sendiri
6) Memilih dan mempersiapkan lapangan pekerjaan
7) Mempersiapkan diri dalam pembentukan keluarga
8) Membentuk sistem nilai, moralitas dan falsafah hidu
Erikson (1968, dalam Papalia, Olds & Feldman, 2001) mengatakan bahwa tugas utama remaja adalah menghadapi identity versus identity confusion, yang merupakan krisis ke-5 dalam tahap perkembangan psikososial yang diutarakannya. Tugas perkembangan ini bertujuan untuk mencari identitas diri agar nantinya remaja dapat menjadi orang dewasa yang unik dengan sense of self yang koheren dan peran yang bernilai di masyarakat (Papalia, Olds & Feldman, 2001).
Untuk menyelesaikan krisis ini remaja harus berusaha untuk menjelaskan siapa dirinya, apa perannya dalam masyarakat, apakah nantinya ia akan berhasil atau gagal yang pada akhirnya menuntut seorang remaja untuk melakukan penyesuaian mental, dan menentukan peran, sikap, nilai, serta minat yang dimilikinya.

4. Perkembangan Perilaku Seksual Remaja
Perkembangan fisik termasuk organ seksual yaitu terjadinya kematangan serta peningkatan kadar hormon reproduksi atau hormon seks baik pada laki-laki maupun pada perempuan yang akan menyebabkan perubahan perilaku seksual remaja secara keseluruhan. Pada kehidupan psikologis remaja, perkembangan organ seksual mempunyai pengaruh kuat dalam minat remaja terhadap lawan jenis. Terjadinya peningkatan perhatian remaja terhadap lawan jenis sangat dipengaruhi oleh faktor perubahan-perubahan fisik selama periode pubertas (Santrock, 2003). Remaja perempuan lebih memperlihatkan bentuk tubuh yang menarik bagi remaja laki-laki, demikian pula remaja pria tubuhnya menjadi lebih kekar yang menarik bagi remaja perempuan (Rumini dan Sundari, 2004).
Pada masa remaja rasa ingin tahu terhadap masalah seksual sangat penting dalam pembentukan hubungan yang lebih matang dengan lawan jenis. Matangnya fungsi-fungsi seksual maka timbul pula dorongan-dorongan dan keinginan-keinginan untuk pemuasan seksual. Sebagian besar dari remaja biasanya sudah mengembangkan perilaku seksualnya dengan lawan jenis dalam bentuk pacaran atau percintaan. Bila ada kesempatan para remaja melakukan sentuhan fisik, mengadakan pertemuan untuk bercumbu bahkan kadang-kadang remaja tersebut mencari kesempatan untuk melakukan hubungan seksual (Pangkahila dalam Soetjiningsih, 2004).
Meskipun fungsi seksual remaja perempuan lebih cepat matang dari pada remaja laki-laki, tetapi pada perkembangannya remaja laki-laki lebih aktif secara seksual dari pada remaja perempuan. Banyak ahli berpendapat hal ini dikarenakan adanya perbedaan sosialisasi seksual antara remaja perempuan dan remaja laki-laki. Bahkan hubungan seks sebelum menikah dianggap ”benar” apabila orang-orang yang terlibat saling mencintai ataupun saling terikat. Mereka sering merasionalisasikan tingkah laku seksual mereka dengan mengatakan pada diri mereka sendiri bahwa mereka terhanyut cinta. Sejumlah peneliti menemukan bahwa remaja perempuan, lebih daripada remaja laki-laki, mengatakan bahwa alasan utama mereka aktif secara seksual adalah karena jatuh cinta (Santrock, 2003).

C. Kaitan Motherhood Terhadap Remaja
Gunarsa (1989) merangkum beberapa karakteristik remaja yang dapat menimbulkan berbagai permasalahan pada diri remaja, yaitu:
1. Kecanggungan dalam pergaulan dan kekakuan dalam gerakan.
2. Ketidakstabilan emosi.
3. Adanya perasaan kosong akibat perombakan pandangan dan petunjuk hidup.
4. Adanya sikap menentang dan menantang orang tua.
5. Pertentangan di dalam dirinya sering menjadi pangkal penyebab pertentangan-pertentangan dengan orang tua.
6. Kegelisahan karena banyak hal yang diinginkan tetapi remaja tidak sanggup memenuhi semuanya.
7. Senang bereksperimentasi.
8. Senang bereksplorasi.
9. Mempunyai banyak fantasi, khayalan, dan bualan.
10. Kecenderungan membentuk kelompok dan kecenderungan akan kegiatan berkelompok.

Beberapa karakteristik remaja tidak sesuai dengan karakteristik motherhood. Karena pada umumnya tidak semua remaja memiliki karakteristik motherhood. Salah satu karakteristik motherhood adalah perilaku adaptif. Menurut Kelly (1978), perilaku adaptif merupakan kematangan diri dan sosial seseorang dalam melakukan kegiatan umum sehari-sehari sesuai dengan keadaan umur dan berkaitan dengan budaya kelompok. Hal ini bertolak belakang dengan salah satu karakteristik remaja yaitu ketidakstabilan emosi dan kecanggungan dalam pergaulan dan kekakuan dalam gerakan. Dalam hal ini, perilaku adaptif bagi motherhood yaitu sejauh mana seorang ibu mempertahankan dan memelihara kan dungannya dan bagaimana dirinya mampu beradaptasi dengan kondisinya yang secara fisik dan psikologis berubah. Jika seorang remaja menjadi seorang ibu, akan sulit baginya untuk menumbuhkan karakteristik motherhood dalam dirinya karena belum adanya kematangan diri dan sosial.







BAB III
METODE PENELITIAN


Dalam bab ini, peneliti akan menjelaskan metode yang akan digunakan dalam penelitian ini, dan peneliti menggunakan metode penelitian kualitatif yaitu suatu pendekatan penelitian bidang sosial yang mempelajari perilaku manusia, organisasi, dan budaya dengan memanfaatkan data, kata-kata lisan maupun tulisan sehingga dapat dijelaskan makna prilaku yang diamati. Metode penelitian kualitatif menekankan pada metode penelitian observasi di lapangan dan datanya dianalisa dengan cara non-statistik meskipun tidak selalu harus menabukan penggunaan angka. Salah satu argumen yang dikedepankan oleh metode penelitian kualitatif adalah keunikan manusia atau gejala sosial yang tidak dapat dianalisa dengan metode yang dipinjam dari ilmu eksakta.

A. Metode Penelitian Kualitatif
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan menggunakan pendekatan kualitatif. Penelitian menggunakan pendektan fenomenologi. Dalam pandangan Natanton (Mulyana, 2002:59) fenomenologi merupakan istilah generik yang merujuk kepada semua pandangan ilmu sosial yang menganggap bahwa kesadaran manusia dan makna subjektif sebagai fokus untuk memahami tindakan sosial. Tentu saja, dalam kaitannya dengan penelitian budaya pun pandangan subjektif informan sangat diperlukan. Subjektif akan menjadi sahih apabila ada proses intersubjektif antara peneliti budaya dengan informan. Peneliti dalam pandangan fenomenologis berusaha memahami arti peristiwa dan kaitan-kaitannya terhadap orang-orang biasa dalam situasi-situasi tertentu. Sosiologi fenomenologis pada dasarnya sangat dipengaruhi oleh Edmund Husserl dan Alfred Schultz. Pengaruh lainnya berasal dari Weber yang memberi tekanan pada verstehn, yaitu pengertian interpretatif terhadap pemahaman manusia. Fenomenologi tidak berasumsi bahwa peneliti mengetahui arti sesuatu bagi orang-orang yang sedang diteliti oleh mereka.
Krik dan Miller (dalam Moleong, 2004) mendefinisikan bahwa penelitian kualitatif adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara fundamental dari pengamatan pada manusia baik dalam kawasannya maupun dalam peristilahannya.
Sedangkan Bongdan dan Taylor (dalam Moleong, 2004) mendefinisikan kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data diskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang–orang dan prilaku yang dapat diamati. Menurut mereka pendekatan ini diarahkan pada latar dan individu tersebut secara holistic (utuh).
Dan menurut Poerwandari (2007) penelitian dengan pendekatan kualitatif memiliki ciri-ciri sebagai berikut :
1. Mendasarkan pada kekuatan narasi.
2. Studi dalam situasi alamiah.
3. Analisis induktif.
4. Kontak personal langsung (peneliti di lapangan)
5. Perspektif holistic.
6. Perspektif dinamis.
7. Orientasi pada kasus unik.
8. Bersandar pada netralitas empatis.
9. Ada fleksibilitas desain.
10. Sirkuler.
11. Peneliti adalah instrumen kunci.

Interpretasi yang didapat dalam penelitian kualitatif bukanlah suatu hal yang tetap (konstan) melainkan suatu proses. Oleh karena itu selama kehidupan masih berjalan, hasil yang di dapat dari suatu interpretasi penelitian kualitatif akan selalu nerlanjut dan berkembang. Dalam penelitian kualitatif akan selalu ada berbagai macam arti dari hasil yang timbul dan hal-hal tambahan yang pada akhirnya akan menimbulkan perdebatan. Penelitian kualitatif memiliki sifat tidak ada kesimpulan akhir yang pasti atau yang disebut inconclude ability (Banister dkk, 1994).
Sugiyono (2005), menyebutkan metode penelitian kualitatif adalah metode penelitian yang digunakan meneliti pada kondisi objek yang alamiah (sebagai lawannya adalah eksperimen) dimana peneliti sebagai instrumen kunci, teknik pengumpulan data bersifat induktif dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna dari generalisasi.

B. Teknik Pengumpulan Data
Dalam bagian ini diuraikan teknik pengumpulan data yang digunakan, misalnya observasi partisipan, wawancara mendalam, dan dokumentasi. Terdapat dua dimensi rekaman data: fidelitas dan struktur. Fidelitas mengandung arti sejauh mana bukti nyata dari lapangan disajikan (rekaman audio atau tape recorder memiliki fidelitas tinggi, sedangkan catatan lapangan memiliki fidelitas kurang). Dimensi struktur menjelaskan sejauh mana wawancara dan observasi dilakukan secara sistematis dan terstruktur. Hal-hal yang menyangkut jenis rekaman, format ringkasan rekaman data, dan prosedur perekaman diuraikan pada bagian ini. Selain itu dikemukakan cara-cara untuk memastikan keabsahan data dengan triangulasi dan waktu yang diperlukan dalam pengumpulan data.
Sebagai alat/instrumen dalam penelitian ini yang digunakan sesuai dengan fokus penelitian yaitu peneliti sendiri yang telah dibantu dengan menggunakan alat-alat pedoman wawancara serta sarana dokumentasi, tempat dan peristiwa. Instrumen tersebut disusun berdasarkan fokus penelitian yang telah dikemukakan sebelumnya.
Penelitian ini menggunakan teknik pengumpulan data yang sesuai dengan teknik pengumpulan data secara kualitatif diantaranya:

1. Wawancara
Menurut Moleong (2004) wawancara adalah percakapan dengan maksud tertentu. Percakapan itu dilakukan oleh dua pihak, yaitu pewawancara (interviewer) yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara (interviewee) yang memberikan jawaban atas pertanyaan itu.
Sedangkan menurut Bainester dkk (dalam Poerwandari, 2007) wawancara merupakan percakapan dan tanya jawab yang diarahkan untuk mencapai tujuan tertentu. Wawancara kualitatif dilakukan bila peneliti bermaksud untuk memperoleh pengetahuan tentang makna-makna subjektif yang dipahami individu berkenaan topik yang diteliti, dan bermaksud melakukan eksplorasi terhadap isu tertentu, satu hal yang dilakukan tidak dapat dilakukan melalui pendekatan lain.

Arikunto (dalam Chandra, 2004) menyatakan jenis–jenis wawancara adalah :
a) Wawancara bebas yaitu pewawancara bebas menanyakan apa saja, tetapi juga mengingat akan data apa yang akan dikumpulkan.
b) Wawancara terpimpin yaitu wawancara yang dilakukan pewawancara dengan membawa sederetan pertanyaan lengkap dan terperinci.
c) Wawancara bebas terpimpin yaitu wawancara berupa kombinasi antara wawancara bebas dan wawancara terpimpin.
Dalam penelitian kualitatif ini peneliti menggunakan alat bantu pengambilan data, agar hasil penelitian ini lebih akurat dan peneliti memiliki bukti penulisan. Alat bantu yang digunakan dalam penelitian ini berupa:

a. Pedoman wawancara
Pedoman wawancara yang digunakan yaitu wawancara yang mengkombinasikan antara wawancara terpimpin dan wawancara tidak terpimpin. Meskipun terdapat unsur kebebasan, tetapi ada pengaruh pembicaraan secara tegas dan mengarah. Proses wawancara harus dilengkapi oleh pedoman wawancara yang berisikan hal-hal apa saja yang harus dilihat tanpa menentukan urutan pertanyaan wawancara. Dalam hal ini peneliti harus membuat pertanyaan tersebut dijabarkan secara konkrit dan menyesuaikan dengan tujuan penelitian.

b. Prosedur Wawancara
Creswell (1998) menjelaskan bahwa prosedur wawancara seperti tahapan berikut ini:
1. Identifikasi para partisipan berdasarkan prosedur sampling yang dipilih sebelumnya.
2. Tentukan jenis wawancara yang akan dilakukan dan informasi bermanfaat apa yang relevan dalam menjawab pertanyaan penelitian.
3. Apakah wawancara individual atau kelompok terfokus, perlu dipersiapkan alat perekam yang sesuai, misalnya mic untuk kedua belah pihak baik pewawancara maupun partisipan. Mic harus cukup sensitif merekam pembicaraan terutama bila ruangan tidak memiliki struktur akustik yang baik dan ada banyak pihak yang harus direkam.
4. Alat perekam perlu dicek kondisinya, misalnya baterainya. Kaset perekam harus benar-benar kosong dan tepat pada pita hitam bila mulai merekam. Jika perekaman sudah dimulai, yakinkan tombol perekam sudah ditekan dengan benar.
5. Susun protokol wawancara, panjangnya kurang lebih empat sampai lima halaman dengan kira-kira lima pertanyaan terbuka dan sediakan ruang yang cukup di antara pertanyaan untuk mencatat respon terhadap komentar partisipan.
6. Tentukan tempat untuk melakukan wawancara. Jika mungkin ruangan cukup tenang, tidak ada distraksi dan nyaman bagi partisipan. Idealnya peneliti dan partisipan duduk berhadapan dengan perekam berada di antaranya, sehingga suara suara keduanya dapat terekam baik. Posisi ini juga membuat peneliti mudah mencatat ungkapan non verbal partisipan, seperti tertawa, menepuk kening, dsb.
7. Ketika tiba di tempat wawancara, tetapkan inform consent pada calon partisipan.
8. Selama wawancara, cocokkan dengan pertanyaan, lengkapi pada waktu tersebut (jika memungkinkan), hargai partisipan dan selalu bersikap sopan santun. Pewawancara yang baik adalah yang lebih banyak mendengarkan daripada berbicara ketika wawancara sedang berlangsung.

Byrne (2001) menyarankan agar sebelum memilih wawancara sebagai metode pengumpulan data, peneliti harus menentukan apakah pertanyaan penelitian dapat dijawab dengan tepat oleh orang yang dipilih sebagai partisipan. Studi hipotesis perlu digunakan untuk menggambarkan satu proses yang digunakan peneliti untuk memfasilitasi wawancara, misalnya mewawancarai pengalaman ayah selama prosedur sesi wawancara perlu dilakukan dalam 48 jam setelah persalinan dan kemudian antara satu hingga dua bulan berikutnya.
Jadi, secara umum wawancara terdiri atas tiga tahap. Tahap pertama meliputi perkenalan, memberikan gambaran singkat proses wawancara dan membangun hubungan saling percaya. Tahap kedua merupakan tahap yang terpenting dengan diperolehnya data yang berguna. Tahap akhir adalah ikhtisar dari respon partisipan dan memungkinkan konfirmasi atau adanya informasi tambahan.

c. Informan Penelitian
Informan penelitian adalah orang yang memberikan informasi tentang responden terhadap peneliti. Adapun yang menjadi informan adalah orang tua, keluarga terdekat dari responden, dan orang lain.

2. Observasi
Menurut Poerwandari (2007) istilah observasi berasal dari bahasa latin yang berarti melihat dan memperhatikan. Istilah observasi diarahkan pada kegiatan memperhatikan secara akurat, mencatat fenomena yang muncul dan mempertimbangkan hubungan antara aspek dalam fenomena tersebut.
Patton (dalam Poerwandari, 2007) menegaskan observasi merupakan metode pengumpulan data esensial dalam penelitian, apalagi penelitian dengan pendekatan kualitatif. Agar memberikan data yang akurat dan bermanfaat, observasi sebagai metode ilmiah harus dilakukan oleh peneliti yang sudah melewati latihan–latihan yang memadai, serta yelah mengadakan persiapan yang teliti dan lengkap.
Menurut Wilkinson (dalam Minauli, 2006), kekuatan utama dari observasi adalah karena ia dapat diamati secara langsung dan tepat. Selain itu tidak ada penundaan waktu antara munculnya responden dengan pertanyaan dan pernyataan. Observasi juga lebih langsung dibandingkan wawancara atau angket karena subjek tidak perlu berespon dengan penyusuna kata-kata atas stimulasi yang disajikan dengan kata-kata.

Arikunto (dalam Chandra, 2004) menyatakan jenis–jenis observasi adalah:
a. Observasi non-sistematis yang dilakukan oleh pengamat dengan tidak menggunakan instrument pengamatan.
b. Observasi sistematis yang dilakuakan pengamat dengan menggunakan pedoman sebagai instrument.
Bungin (2007: 115) mengemukakan beberapa bentuk observasi yang dapat digunakan dalam penelitian kualitatif, yaitu observasi partisipasi, observasi tidak terstruktur, dan observasi kelompok tidak terstruktur.
Observasi partisipasi (participant observation) adalah metode pengumpulan data yang digunakan untuk menghimpun data penelitian melalui pengamatan dan pengindraan dimana observer atau peneliti benar-benar terlibat dalam keseharian responden.
Observasi tidak berstruktur adalah observasi yang dilakukan tanpa menggunakan guide observasi. Pada observasi ini peneliti atau pengamat harus mampu mengembangkan daya pengamatannya dalam mengamati suatu objek. Observasi kelompok adalah observasi yang dilakukan secara berkelompok terhadap suatu atau beberapa objek sekaligus.

a. Lembar Catatan Observasi
Lembar ini merupakan catatan yang berisikan deskripsi tentang hal–hal yang diamati dan setiap kondisi adalah hal yang penting. Dalam penulisan lembar ini dapat dilakukan dengan berbagai cara, hanya saja membuat catatan selengkap-lengkapnya.
Menurut Poerwandari (dalam Novalina, 2008) selain meneyesuaikan diri dengan yang diamati, kerja yang paling fundamental bagi peneliti adalah membuat catatan observasi (catatan lapangan), catatan ini berisi tentang hal-hal yang diamati dan perlu diingat bahwa setiap kondisi merupakan hal yang penting. Penulisan lembaran observasi dapat dilakukan dengan berbagai macam cara. Peneliti haru menyadari bahwa ingatan tidak dapat diandalkan secara mutlak karena bila observasi tidak dicatat ada kemungkinan lupa dan peneliti kehilangan informasi yang penting.




C. Responden Penelitian
Dalam penelitian kualitatif tidak ada ketentuan khusus mengenai jumlah sampel. Penelitian kualitatif yang terletak pada kedalaman proses, cenderung dilakukan dengan jumlah sampel yang sedikit (Poerwandari, 2007) dalam penelitian ini peneliti menggunakan 2 sampel anak remaja yang berusia 16-17 tahun yang hamil diluar nikah. Responden penelitian merupakan orang yang merespon atau menjawab pertanyaan ketika wawancara berlangsung. Responden mungkin saja hanya terdiri atas responden tunggal yakni hanya terdiri atas satu individu (makhluk, benda, peristiwa).
Penetapan sampel lebih sering dilakukan secara purposive sehingga responden yang terpilih adalah kelompok atau individu yang diyakini dapat memberikan informasi yang diperlukan. Untuk memperoleh data yang handal perlu diusahakan kelompok-kelompok responden yang relatif homogen terutama menyangkut status sosialnya. Jika hal tersebut sulit diupayakan, maka dalam pengumpulan data perlu diperhatikan keragaman atau perbedaan karakteristik individu dalam setiap kelompok.
1. Karakteristik Responden
Dalam penelitian kualitatif, pemberian batasan pada responden merupakan suatu hal yang perlu dilakukan berkenaan dengan keabsahan dan keajegan penelitian (Banister dkk, 1994). Dalam penelitian ini, beberapa karakteristik responden yang akan menjadi responden adalah sebagai berikut:
a. Wanita yang hamil diluar nikah
Hamil diluar nikah yang sering terjadi pada kebanyakan remaja putri diakibatkan karena melakukan seks bebas, baik dengan pasangannya sendiri (pacar) ataupun dengan pasangan lainnya.
b. Usia 16-17 tahun
Usia adalah satuan waktu yang dihitung ke dalam bentuk hitungan tahun. Dalam penelitian ini yang menjadi sampel adalah remaja putri yang hamil diluar nikah dan berusia antara 16-17 tahun.
c. Faktor Pendidikan
Tingkat pendidikan formal dari Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Atas. Data mengenai pendidikan ini diperoleh dari identitas subjek berdasarkan hasil wawancara. Tingkat pendidikan yang digunakan sebagai sampel dalam penelitian ini adalah tingkat SMA.
d. Lingkungan tempat tinggal
Tempat dimana seseorang itu tumbuh dan berkembang, dimana di dalamnya terdapat berbagai tindak perilaku seperti hidup dengan bebas dengan melakukan berbagai kegiatan seperti bersosialisasi.

2. Jumlah Responden
Dalam penelitian kualitatif tidak ada ketentuan khusus mengenai hal ini. Penelitian kualitatif, yang terletak pada kedalaman dan proses, cenderung dilakukan dengan jumlah responden kasus yang sedikit (Poerwandari, 1998), bahkan, satu responden pun sebenarnya sudah dapat memberikan hasil bagi penelitian asalkan data yang di dapat mendalam dan lengkap (Banister, 1994).

D. Alat Bantu Pengumpulan Data
Dalam wawancara tidak bijaksana apabila menghandalkan ingatan saja karena indera manusia memiliki keterbatasan yang memungkinkan peneliti melewatkan hal–hal yang dapat mendukung, maka dari itu alat bantu yang digunakan untuk mempermudah peneliti dalam mencatat hasil dari wawancara adalah tape recorder (alat perekam). Penggunaan alat itu perlu diberitahukan terlebih dahulu kepada responden apakah diizinkan atau tidak.
Poerwandari (2007) menyatakan bahwa wawancara perlu direkam dan dibuat transkipnya secara verbatim (kata demi kata). Catatan wawancara berfungsi untuk mencatat semua percakapan dengan sumber data hasil dari wawancara.

E. Keabsahan
Pada penelitian kualitatif temuan data dinyatakan valid apabila tidak ada perbedaan antara yang dilaporkan peneliti dengan apa yang sesungguhnya terjadi pada objek yang diteliti. Reliabilitas penelitian kualitatif adalah bersifat majemuk atau ganda, selalu berubah dan dinamis, sehingga tidak ada yang konsisten, dan berulang seperti semula. Hal ini tergantung pada konstruksi tiap individu dengan berbagai latar belakang, Sugiono (dalam Chandra, 2004). Validitas merupakan derajat ketepatan antara data yang terjadi pada objek penelitian dengan daya yang dapat dilaporkan oleh peneliti.
Dalam penelitian kualitatif tidak ada data yang tetap, konstan, stabil. Selain itu cara melaporkan penelitian bersifat individualistik, selalu berbeda setiap orang. Peneliti membuat laporan menurut bahasa dan jalan pikiran sendiri. Demikian dalam pengumpulan data, unsur–unsur individualistik proses penelitian sendiri selalu bersifat personalitik dan tidak ada dua peneliti akan menggunakan dua cara yang persis sama, Sugiono (dalam Chandra, 2004).
Tidak ada suatu data yang tetap/konsisten/stabil. Selain itu cara melaporkan penelitian bersifat indivualistik, selalu berbeda dari orang perorangan. Tiap peneliti memberi laporan menurut bahasa dan jalan pikiran sendiri. Demikian dalam pengumpulan data, unsur-unsur pengumpulan individualitik proses penelitian sendiri selalu bersikap personalitik dan tidak ada dua peneliti yang persis sama (Sugiono, 2005).
Beberapa cara menentukan keabsahan data agar diperoleh temuan dan interpretasi yang absah, maka perlu diteliti kredibilitasnya dengan mengunakan teknik-teknik perpanjangan kehadiran peneliti di lapangan, observasi yang diperdalam, triangulasi (menggunakan beberapa sumber, metode, peneliti, teori), pembahasan sejawat, analisis kasus negatif, pelacakan kesesuaian hasil, dan pengecekan anggota. Selanjutnya perlu dilakukan pengecekan dapat tidaknya ditransfer ke latar lain (transferrability), ketergantungan pada konteksnya (dependability), dan dapat tidaknya dikonfirmasikan kepada sumbernya (confirmability).
1. Kredibilitas
Apakah proses dan hasil penelitian dapat diterima atau dipercaya. Beberapa kriteria dalam menilai adalah lama penelitian, observasi yang detail, triangulasi, peer debriefing, analisis kasus negatif, membandingkan dengan hasil penelitian lain, dan member check.
Cara memperoleh tingkat kepercayaan hasil penelitian, yaitu:
a. Memperpanjang masa pengamatan memungkinkan peningkatan derajat kepercayaan data yang dikumpulkan, bisa mempelajari kebudayaan dan dapat menguji informasi dari responden, dan untuk membangun kepercayaan para responden terhadap peneliti dan juga kepercayaan diri peneliti sendiri.
b. Pengamatan yang terus menerus, untuk menemukan ciri-ciri dan unsur-unsur dalam situasi yang sangat relevan dengan persoalan atau isu yang sedang diteliti, serta memusatkan diri pada hal-hal tersebut secara rinci.
c. Triangulasi, pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain diluar data untuk keperluan pengecekan atau sebagai pembanding terhadap data tersebut. Menurut (Moloeng, 2004:330), triangulasi merupakan teknik pemeriksaan keabsahan data yang memanfaatkan sesuatu yang lain dalam membandingkan hasil wawancara terhadap objek penelitian). Trianggulasi dilakukan melalui wawancara, observasi langsung dan observasi tidak langsung.
d. Peer debriefing (membicarakannya dengan orang lain) yaitu mengekspos hasil sementara atau hasil akhir yang diperoleh dalam bentuk diskusi analitik dengan rekan-rekan sejawat.
e. Mengadakan member check yaitu dengan menguji kemungkinan dugaan-dugaan yang berbeda dan mengembangkan pengujian-pengujian untuk mengecek analisis, dengan mengaplikasikannya pada data, serta denganmengajukan pertanyaan-pertanyaan tentang data.
2. Transferabilitas
Yaitu apakah hasil penelitian ini dapat diterapkan pada situasi yang lain.
3. Dependability
Yaitu apakah hasil penelitian mengacu pada kekonsistenan peneliti dalam mengumpulkan data, membentuk, dan menggunakan konsep-konsep ketika membuat interpretasi untuk menarik kesimpulan.
4. Konfirmabilitas
Yaitu apakah hasil penelitian dapat dibuktikan kebenarannya dimana hasil penelitian sesuai dengan data yang dikumpulkan dan dicantumkan dalam laporan lapangan. Hal ini dilakukan dengan membicarakan hasil penelitian dengan orang yang tidak ikut dan tidak berkepentingan dalam penelitian dengan tujuan agar hasil dapat lebih objektif.

Aspek keabsahan data dalam penelitian kualitatif.
Menurut Moleong keabsahan data adalah bahwa setiap keadaan harus memenuhi beberapa hal, yaitu:
1. Mendemonstrasikan nilai yang benar.
2. Menyediakan dasar agar hal itu dapat diterapkan
3. Memperbolehkan keputusan luar yang dapat dibuat tentang konsistensi dari prosedurnya dan kenetralan dari temuan dan keputusan-keputusannya.

Isu dasar dari hubungan keabsahan data pada dasarnya adalah bagaimana peneliti membujuk agar pesertanya (termasuk dirinya) bahwa temuan-temuan penelitian dapat dipercaya atau dapat dipertimbangkan.


F. Prosedur Penelitian
1. Persiapan Penelitian
Sebelum penelitian berlangsung peneliti terlebih dahulu mempersiapkan alat-alat yang digunakan dalam wawancara yaitu, pedoman wawancara dan tape recorder. Pedoman wawacara berisi daftar aspek-aspek yang ingin digali dalam diri responden yang disusun berdasarkan teori-teori yang mendasari penelitian ini. Tape recorder yang digunakan dalam penelitian untuk merekam jalannya wawancara agar semua informasi akurat dan tidak ada yang terlupakan.
Sebelum memulai wawancara responden terlebih dahulu menjelaskan identitas peneliti dan tujuan penelitian. Responden diinformasikan bahwa wawancara akan direkam dan hasil wawancara bersifat konfidensial/rahasia.
Sebelum melaksanakan penelitian, terdapat beberapa hal yang perlu dilakukan peneliti, yaitu:
1. Menghubungi individu-individu yang dapat menghubungkan peneliti dengan individu yang memilki karakteristik-karakteristik yang sesuai dengan penelitian ini.
2. Peneliti mulai menyusun pedoman wawanncara yang akan digunakan.

2. Pelaksanaan Penelitian
Dalam hal ini peneliti dan responden melakukan proses wawancara berdasarkan kesepakatan yang telah ada. Peneliti menjelaskan kembali tujuan kepada responden tentang penelitian ini, dimana untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan dalam penelitian. Kemudian sebelum wawancara dilakukan peneliti meminta izin untuk merekam pembicaraan dengan menggunakan tape recorder dan menjamin kerahasiaan isi wawancara.
Field & Morse (1985 dalam Holloway & Wheeler, 1996) menyarankan bahwa wawancara harus selesai dalam satu jam. Sebenarnya waktu wawancara bergantung pada partisipan. Peneliti harus melakukan kontrak waktu dengan partisipan, sehingga mereka dapat merencanakan kegiatannya pada hari itu tanpa terganggu oleh wawancara, umumnya partisipan memang menginginkan waktunya cukup satu jam. Pada partisipan lanjut usia, menderita kelemahan fisik, atau sakit mungkin perlu istirahat setelah 20 atau 30 menit. Partisipan anak-anak juga tidak bisa konsentrasi dalam waktu yang lama. Peneliti harus menggunakan penilaian mereka sendiri, mengikuti keinginan partisipan, dan menggunakan waktu sesuai dengan kebutuhan topik penelitiannya. Umumnya lamanya wawancara tidak lebih dari tiga jam. Jika lebih dari tiga jam, konsentrasi tidak akan diperoleh bahkan bila wawancara tersebut dilakukan oleh peneliti berpengalaman sekalipun. Jika dalam waktu yang maksimal tersebut data belum semua diperoleh, wawancara dapat dilakukan sekali lagi atau lebih. Beberapa kali wawancara singkat akan lebih efektif dibanding hanya satu kali dengan waktu yang panjang.


Didalam pelaksanaan penelitian terdapat beberapa metode yang digunakan yaitu:
a. Sebelum Pengumpulan Data
1. Menghubungi responden guna memperkenalkan ddiri dan meminta persetujuan mereka untuk berpartisipasi dalam penelitian ini. Dalam pelaksanaannya, peneliti akan menghubungi responden ke rumahnya.
2. Mengkunjungi responden dengan tujuan membina raport yang baik dan menjelaskan prosedur penelitian yang akan dilakukan, selain itu peneliti mulai melakukan observasi terhadap keadaan yang terjadi di lapangan yang sedang berlangsung.
3. Usahakan hubungan rapport dengan objek sampai penelitian berakhir. Apabila hubungan tersebut dapat tercipta, maka dapat diharapkan informasi yang diperoleh tidak mengalami hambatan.
4. Membuat janji bertemu secara berkala dengan responden, sehingga dapat diwawancarai secara santai tetapi dalam konteks wawancara.

b. Pengumpulan Data
1. Setelah mendapatkan data secara lengkap dan alamat sumber data responden, peneliti akan menyusun data tersebut ke dalam tulisan yang lebih rapi.
2. Mendengarkan hasil wawancara dengan responden dari tape recoder yang sudah direkam dan ditulis kembali ke dalam tulisan yang diketikan dalam bentuk transkip verbatin.

Berdasarkan sumbernya, data dibagi menjadi:
a. Data Primer: Data yang diusahakan/didapat oleh peneliti. Pengumpulan data primer membutuhkan perancangan alat dan metode pengumpulan data. Metode pengumpulan data penelitian yaitu:
1) Observasi
2) Wawancara
b. Data Sekunder: Data yang didapat dari orang/instansi lain. Data Sekunder cenderung siap “pakai”, artinya siap diolah dan dianalisis oleh penelitian.


G. Metode Analisa Data
Pada bagian analisis data diuraikan proses pelacakan dan pengaturan secara sistematis transkrip-transkrip wawancara, catatan lapangan dan bahan-bahan lain agar peneliti dapat menyajikan temuannya. Analisis ini melibatkan pengerjaan, pengorganisasian, pemecahan dan sintesis data serta pencarian pola, pengungkapan hal yang penting, dan penentuan apa yang dilaporkan. Dalam penelitian kualitatif, analisis data dilakukan selama dan setelah pengumpulan data, dengan teknik-teknik misalnya analisis domain, analisis taksonomis, analisis komponensial, dan analisis tema. Dalam hal ini peneliti dapat menggunakan statistik nonparametrik, logika, etika, atau estetika. Dalam uraian tentang analisis data ini supaya diberikan contoh yang operasional, misalnya matriks dan logika.
Menurut Bogdan dan Biklen (dalam Moleong, 2004) analisis data kualitatif adalah upaya yang dilakukan dengan cara bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensistensiskannya, mecari dan menentukan pola, menemukan apa yang diceritakan kepada orang lain.

Selanjutnya Drury (dalam Moleong, 2004) mengatakan tahapan analisis data kualitatif adalah sebagai berikut:
1. Membaca atau mempelajari data, menandai kata-kata kunci dan gagasan yang ada dalam data.
2. Mempelajari kata-kata kunci itu, berupaya menemukan tema-tema yang berasal dari data.
3. Menuliskan model yang ditemukan
4. Koding
Dipihak lain, analisis data kualitatif menurut seiddel (dalam Moleong, 2004) memiliki proses:
2. Mencatat dan menghasilkan catatan lapangan, dengan hal itu diberi kode agar sumber datanya tetap dapat ditelusuri.
3. Mengumpulkan, memilah milah, mengklasifikasikan, mensisitensiskan, membuat ikhtisar dan membuat indeks.
4. Berfikir, dengan jalan membuat agar kategori data itu mempunyai makna mencari dan menemukan pola dan hubungan–hubungan dan membuat temuan–temuan umum.




DAFTAR PUSTAKA

Atkinson, Rita L. ; Atkinson, Richard C. ; Smith, Edward E. ; Bem, Daryl J. : edisi kesebelas, Jilid Satu, Pengantar Psikologi. Interaksara.
Atkinson, Rita. L. ; Atkinson, Richard C. ; Hilgard, Ernest R. ; Taufiq, Nurdjannah. ; Dharma Agus : edisi kedelapan, Jilid Dua, Pengantar Psikologi. Penerbit Erlangga.
Hariyadi, Sugeng. 2003. Psikologi Perkembangan. Semarang: UPT MLDK Unnes
Hurlock, Elizabeth B ; edisi kelima, Psikologi Perkembangan. Penerbit Erlangga
http://www.dwifajar.co.cc/index.php/gender/49-hak-hak-perempuan/90-seputargender.pdf. 2 april 2010.
J. Moleong, Lexy. 2002. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya
Kartini, Kartono. 2002. Patologi Sosial 2: Kenakalan Remaja. Jakarta: PT Raja Grafindo
Poerwandari, E.K. 2007. Pendekatan Kualitatif untuk Penelitian Perilaku Manusia. Jakarta : LPSP3 Fakultas Psikologi Universitas Indonesia.
Patton, M. Q. 1990. Qualitative Evaluation and Research (2nd Ed.). Newbury Park – New Delhi : Sage Publications, Inc.
Rachman, Maman. 1999. Strategi dan Langkah-Langkah Penelitian. Semarang: CV Ikip Semarang Press
Sarwono, Prof. Dr. Sarlito. Psikologi Remaja. Rajawali Pers.
Sudarsono. 2004. Kenakalan Remaja. Jakarta: PT Rineka Cipta

No comments:

Post a Comment