Wednesday, November 24, 2010

Hubungan Antara Agama dan Tingkat Kepercayaan Diri

Percaya diri adalah salah satu aspek psikis manusia yang sangat penting untuk dipupuk dan dikembangkan. Sukses tidaknya seseorang dalam berinteraksi secara sosial terhadap lingkungannya adalah tergantung bagaimana cara mereka mengembangkan kepercayaan dirinya. Seseorang bisa suskes dalam bergaul dengan orang lain, mudah memperoleh teman, sukses dalam pekerjaan dan sebagainya adalah karena kepercayaan diri yang dimilikinya. Tumbuhnya percaya diri menyebabkan seseorang melakukan penyesuaian diri yang baik pula terhadap lingkungannya.

Hambly (1995:1) beranggapan bahwa bila seseorang mampu meningkatkan kepercayaan dirinya, maka hubungannya dengan orang lain akan menjadi lebih baik, pekerjaan menjadi lebih mudah dan hidup menjadi lebih memuaskan. David Staat dalam A Dictionary of Human Behavior, mendefinisikan self confidence adalah penuh percaya diri, tampil beda dan yakin pada diri sendiri. Pendapat David ini dapat dilihat kesamaannya dengan pendapat Adler yang ditulis dalam bukunya yang berjudul The Dynamis of Human Communication, bahwa salah satu unsur dari rasa percaya diri adalah menghargai diri sendiri, kemudian tumbuhnya keyakinan serta kepercayaan bahwa ia memiliki kelebihan yang, mungkin tidak dimiliki orang lain (Richard & Rychman, 1995:106).

Faktor umum yang mempengaruhi tingkat percaya diri seseorang antara lain :

1. Kondisi fisik

2. Latar belakang keluarga

3. Lingkungan dan pergaulan

4. Tingkat pendidikan dan prestasi

5. Materi

6. Kedudukan

7. Pengalaman dan wawasan

Semakin banyak dan baik kualitas faktor-faktor tersebut dimiliki, maka secara langsung maupun tidak langsung akan membentuk rasa percaya diri yang semakin tebal pada diri seseorang. Tinggi rendahnya percaya diri ini bersifat sangat relatif sehingga dikatakan tidak dapat diukur secara tepat sekali . Tetapi secara umum tingkat kepercayaan diri seseorang dapat dikategorikan dalam dua tingkatan kondisi penilaian umum, yang biasanya adalah perbandingan antara pandangan realita umum dengan pandangan subjective seseorang terhadap tingkat kemampuan untuk mencapai harapannya, yaitu :

· Optimis
Kondisi percaya diri yang relatif tinggi, bersandar pada keyakinan bahwa keadaan lingkungan dan kemampuan diri yang masih dalam ambang batas kendali dan pengaruh untuk mencapai harapannya. Orang yang optimis adalah orang yang mempunyai pandangan kedepan yang positif sehingga biasanya mampu untuk mempertahankan asumsinya bahwa selalu ada jalan keluar (pemecahan) positif pada setiap permasalahan yang ada. Optimisme yang dimiliki seseorang inilah yang selalu menjadi pemicu semangat hidup yang aktif, dinamis serta keberanian dan kemandirian baik untuk maju maupun bertahan.

· Pesimis
Adalah keadaan yang sebaliknya dari optimis, yaitu dimana kondisi percaya diri relatif rendah yang biasanya karena akumulasi tekanan lingkungan dan kondisi persaingan yang keras, yang selalu menghalangi seseorang untuk mencapai harapan yang ada, sehingga mengikis bahkan mengubur kepercayaan dan semangat diri yang ada. Orang yang pesimis biasanya pasif, tidak bersemangat, ragu-ragu, dan cenderung tergantung pada orang lain.

· Sikap Sportif

Yaitu mengekspresikan suatu kekuatan dan semangat keuletan untuk maju yang positif. Jujur dan adil, kerendahan hati, keterbukaan, lapang dada, serta rasa kebersamaan / persahabatan.

Selain itu faktor yang menyebabkan seseorang bisa memiliki rasa percaya diri, adalah dengan memiliki penampilan fisik yang menarik, menjadi dambaan setiap orang. Bagi individu yang mempunyai bentuk dari penampilan fisik yang ideal akan terlihat lebih menarik bila dibandingkan dengan individu yang mempunyai penampilan fisik yang kurang menguntungkan. Individu yang memiliki penampilan yang menarik seringkali lebih banyak menjadi pusat perhatian, oleh sebab itu tidak salah bila banyak orang berpendapat bahwa penampilan merupakan salah satu modal percaya diri. Berdasarkan dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Siaran (2002:2), berkerjasama dengan Rumah Sakit ULM menyimpulkan bahwa ternyata anak-anak yang mempunyai penampilan fisik yang kurang menarik seperti kelebihan berat badan memiliki percaya diri yang rendah. Centi (1993:36) menjelaskan bahwa orang yang puas dengan keadaan dan penampilan fisiknya, pada umumnya memiliki kepercayaan diri yang lebih tinggi daripada yang tidak, karena penampilan fisik merupakan hal yang paling tampak dari kepribadian seseorang dan menciptakan kesan awal bagi orang lain. Kenyataannya tidak semua orang memiliki bentuk dan penampilan fisik yang menarik. Bagi mereka yang memiliki cacat fisik, percaya diri yang tinggi sangat penting bagi mereka. Sebab, jika tidak memiliki kepercayaan diri karena kekurangan yang dimilikinya, maka dapat menyebabkan mereka merasa takut, putus asa, pemalu, murung, tidak bebas, dan cenderung sedapat mungkin menghindari situasi komunikasi (Abd. Azis, dalam Kumara, 988:12).

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan Marfiyanti (2001:58), manyimpulkan bahwa semakin tinggi rasa percaya diri maka semakin tinggi pula efektivitas komunikasi individu. Penelitian dengan subyek sebanyak 40 orang dengan pendidikan SMU hingga S1 ini diketahui ternyata faktor percaya pada kemampuan pribadi merupakan faktor yang paling besar pengaruhnya terhadap rasa percaya diri dibanding faktor lainnya. Hal ini disebabkan karena sesorang yang percaya kepada kemampuan yang dimilikinya atau dengan kata lain memiliki keyakinan yang positif akan lebih percaya diri, sehingga akan mempunyai keberanian untuk berkomunikasi. Berdasarkan banyak kasus yang terjadi dalam masyarakat, pada umumnya percaya diri yang dialami mereka terjadi karena masalah yang berhubungan dengan ketidakpuasan terhadap dirinya sendiri. Mereka merasa bahwa fisik yang ideal dan sempurna akan menjadikan mereka sangat percaya diri dihadapan teman-temannya.

Kepercayaan diri merupakan salah satu aspek yang dibutuhkan untuk mengembangkan diri dan pencapaian kestabilan mental yang sehat guna mengatasi permasalahan dalam dirinya. Dan salah satu aspek penting yang bisa mendorong rasa percaya diri adalah dengan bersyukur. Dengan bersyukur, seorang remaja akan memiliki kekuatan jiwa dan dalam menghadapi kesukaran dan kekecewaan hidup tidak akan memukul jiwanya, tidak akan membuatnya pesimis, rendah diri, mudah putus asa dalam hidupnya. Ia akan menghadapinya dengan tenang dan selalu ingat kepada Allah SWT, menerima kekecewaan dan kesukaran hidup dengan sabar. Menurutnya kesukaran yang dialaminya merupakan bagian dari ujian dan cobaan. Serta yakin bahwa Allah SWT memberi cobaan sesuai dengan batas kemampuan manusia yang akan memberikan makna pada setiap sikap dan perilaku individu sehingga akan tetap hidup dengan penuh keyakinan dan ketenangan pada dirinya sendiri (Gymnastiar, 2003:33) .

Menurut sebuah penelitian Zainrrofikoh dan Hadjam yang dilakukan pada Mahasiswa anggota KAMMI di UGM menyimpulkan bahwa individu yang merasakan kebermaknaan hidup, dapat menumbuhkan semangat untuk menghadapi tantangan hidup, mampu menerima diri dan mensyukurinya sehingga tidak mempermasalahkan penampilan fisik dan kekurangan-kekurangan yang dimilikinya, sebaliknya individu akan menerima kondisi itu sebagai suatu takdir dan menerima dengan sikap sabar, sehingga individu tidak merasa cemas, tetap optimis dan percaya diri. Agama juga mengajarkan hakikat kemanusiaan dimana manusia harus menyadari bahwa Allah SWT memberi yang ada dalam cirinya yang meliputi fungsi-fungsi fisiologis maupun psikisnya yang menjadikan manusia sebagai makhluk tertinggi.

Secara individual maupun hidup bermasyarakat, manusia tidak dapat dilepaskan dari sistem kepercayaan atau agama. Agama (dalam bahasa Inggris: Religion, yang berasal dari bahasa Latin religare, yang berarti "menambatkan"), yaitu sebuah unsur kebudayaan yang penting dalam sejarah umat manusia. Dalam Dictionary of Philosophy and Religion (Kamus Filosofi dan Agama) mendefinisikan Agama sebagai: “sebuah institusi dengan keanggotaan yang diakui dan biasa berkumpul bersama untuk beribadah, dan menerima sebuah paket doktrin yang menawarkan hal yang terkait dengan sikap yang harus diambil oleh individu untuk mendapatkan kebahagiaan sejati.”

William James dalam bukunya, "Agama dan Jiwa" menulis, "Agama adalah sebuah keyakinan kepada adanya sebuah sistem yang tidak terlihat di tengah-tengah berbagai fenomena di dunia, dan langkah terbaik yang harus kita lakukan dalam menghadapi sistem ini adalah menyelaraskan diri dengannya." Selanjutnya James menulis, "Dapat dikatakan, agama memberikan kepada kita kemampuan untuk mengenali hakikat ketuhanan yang secara langsung berhubungan dengan kita. Jika kemampuan untuk memahami hakikat ini tidak ada dalam diri kita, maka segala kemampuan lain yang ada dalam diri kita sama sekali tidak ada manfaatnya."

Psikolog lain bernama Katre menyakini bahwa agama dan ketenangan jiwa memiliki kaitan yang sangat erat. Karena, agama mampu memberi pengaruh pada perasaan kepemilikan dan keterikatan yang dimiliki manusia, sehingga manusia mampu mengontrol kehidupannya sendiri. Dengan melakukan berbagai aktivitas keagamaan, seperti datang ke rumah ibadah. Manusia juga akan membuka lingkungan sosialnya sehingga kepribadiannya pun akan semakin berkembang. Selain itu, aturan-aturan agama juga akan memberi pengaruh pada perilaku manusia dan memberikan keselamatan jasmani, rohani, dan keseimbangan jiwa.

Agama memiliki sejumlah tradisi yang sama, namun juga ada perbedaan-perbedaan yang mendasar dalam inti ajarannya yang memberikan pengaruh yang besar dalam kehidupan manusia. Didalam setiap agama menganut unsur keimanan yang mencakup kepercayaan kepada sifat cinta kasih dan kepemurahan dari Allah SWT, serta keyakinan akan adanya takdir. Dengan kepercayaan ini seseorang bisa menerima dan bersyukur akan setiap realitas yang telah terjadi dan tidak dapat untuk dirubah. Sikap realita merupakan kesediaan seseorang untuk bersyukur, berserah diri pada takdir atau sikap ikhlas menerima keadaan, dan sikap inilah yang kemudian dapat menumbuhkan rasa percaya diri di dalam diri seseorang.


· Pengertian Agama

Menurut Wagner (dalam Hurlock, 2004) mengemukakan banyak remaja menyelidiki agama sebagai sumber dari rangsangan emosional dan intelektual. Para pemuda ingin mempelajari agama berdasarkan pengertian intelektual dan tidak ingin menerima begitu saja. Mereka meragukan agama bukan karena ingin menjadi agnostik atau atheis, melainkan karena mereka ingin menerima sebagai sesuatu yang bermakna berdasarkan keinginan mereka untuk mandiri dan bebas menentukan keputusan-keputusan mereka sendiri.

Arnold Toymbe (dalam Junus, 2007) menyatakan bahwa tendensi agama merupakan sebagian tabiat manusia. Seorang manusia tidak sanggup hidup tanpa menganut agama dalam bentuk apapun. Agama telah mengajar manusia bahwa dirinya bukan saja makhluk bermasyarakat akan tetapi juga makhluk yang mempunyai rasa, cipta, karya dan kehormatan.

Menurut Allport (dalam Rachmat, 1944) ciri-ciri orang yang telah memiliki kepribadian yang matang yakni : terbuka pada semua fakta, pengalaman, nilai-nilai serta memberi arah pada kerangka hidup, baik secara teoritis maupun secara praktis. Maksud terbuka disini adalah terbuka untuk berubah, fleksibel, dan toleran.

Schuster & Ashbum (1980) bahwa orang yang berkepribadian matang akan terbuka pada proses hidup yang sedang dijalaninya. Salah satu bentuk dari kematangan mental adalah kematangan beragama.

Allport (dalam Rahmat, 1994) memperkenalkan konsep kematangan beragama yang diartikan sebagai sentiment keberagaman yang terbentuk melalui pengalaman untuk merespon objek-objek konseptual dan prinsip-prinsip yang dianggap penting dan menetap dalam kehidupan yaitu agama dan dilakukan secara sadar dalam bentuk kebiasaan tertentu.

Allport (dalam Rahmat, 1994) mengemukakan bahwa kematangan beragama seseorang harus diukur dengan a comprehensive commitment ( keterlibatan secara menyeluruh dalam seluruh ajaran agama yang diamati seseorang.

· Kepercayaan Diri

Kepercayaan diri merupakan suatu pengetahuan yang terdapat di dalam jiwa seseorang. Dengan kata lain kepercayaan diri adalah keyakinan ataupun kemampuan terhadap diri sendiri untuk mencapai suatu keberhasilan. Rahmat (1994) mengatakan bahwa kepercayaan diri adalah suatu keinginan untuk membuka diri terhadap lingkungan karena adanya dorongan dari dalam dirinya sendiri.

Harry Stack Sulliran (1953) (dalam Rahmat, 1994) menjelaskan bahwa jika kita diterima orang lain, dihormati, dan disenangi karena keadaan diri kita, kita akan cenderung bersikap menghormati dan menerima diri kita. Sebaliknya, bila orang lain selalu meremehkan kita, menyalahkan kita dan menolak kita, kita akan cenderung tidak menyenangi diri kita.

Kepercayaan diri itu sendiri adalah kepercayaan yang berasal dari orang lain yang sangat bermanfaat bagi perkembangan kepribadian orang tersebut. Seseorang yang mendapat kepercayaan diri dari orang lain merasa dirinya dihargai, dihormati, dan merasa orang lain tersebut bertingkah laku secara bertanggung jawab (Karsono, 1985).

Menurut Soedirman (1986), percaya diri sendiri merupakan suatu perasaan akan kemampuan bertindak dengan bekal yang ada pada dirinya sendiri. Efek bertindak positif dari sikap percaya diri tidak akan dilipui rasa was-was, minder, akan tetapi selalu optimis dalam menyelesaikan segala tugas dan kewajiban.

Menurut Lauster (dalam Fasikhah, 1994), terdapat beberapa karakteristik untuk menilai kepercayaan diri individu, diantara­nya:

a) Percaya kepada ke­mampuan sendiri, yaitu suatu keyakinan atas diri sendiri terhadap segala fenomena yang terjadi yang ber­hubungan de­ngan kemampuan individu untuk mengevaluasi serta mengatasi fenomena yang terjadi tersebut.

b) Bertindak mandiri dalam mengambil keputusan, yaitu dapat ber­tindak dalam meng­ambil keputusan ter­hadap apa yang dilakukan se­cara mandiri tan­pa adanya keterlibatan orang lain. Se­lain itu, mempunyai kemampuan untuk me­­yakini tindakan yang diambilnya ter­sebut.

c) Memiliki konsep diri yang positif, yaitu adanya penilaian yang baik dari dalam diri sendiri, baik dari pan­dangan maupun tindakan yang dilaku­kan yang menim­bulkan rasa positif terhadap diri sendiri.

d) Berani mengungkapkan pendapat, yaitu ada­nya suatu sikap untuk mampu meng­utarakan sesuatu dalam diri yang ingin diung­kap­kan kepada orang lain tanpa adanya paksaan atau hal yang dapat menghambat pengungkapan pera­saan ter­sebut.

Bandura (Dr. Albert Bandura, 1994), menjelaskan bahwa self-efficacy atau kepercayaan diri yang bagus punya kontribusi besar terhadap motivasi seseorang. Ini mencakup antara lain: bagaimana seseorang merumukan tujuan atau target untuk dirinya, sejauh mana orang memperjuangkan target itu, sekuat apa orang itu mampu mengatasi masalah yang muncul, dan setangguh apa orang itu bisa menghadapi kegagalannya.




DAFTAR PUSTAKA

  1. Abbas, Z, A. (1984). Perkembangana Pikiran terhadap Agama. Jakarta: Pustaka Al Husna
  1. Hurlock. Psikologi Perkembangan, Jakarta : Penerbit Erlangga
  1. id.wikipedia.org/wiki/Budaya
  1. Jalaluddin. (1977). Psikologi Agama. Jakarta: PT. Rajja Grafindo Persada
  1. Junus, H, I. Pendidikan Agama Islam.
  1. Metia, Cut. (2009). Psikologi kepribadian. Bandung: Citra Pustaka Media Perintis
  1. Rahmat (1994). Psikologi Komunikasi. Bandung: Remaja Rosda Karya
  1. skripsipsikologi-indonesia.blogspot.com/.../hubungan-antara-rasa-syukur-dengan-kepercayaan-diri-html/
  1. www.indonesia.siutao.com

No comments:

Post a Comment